MAKALAH DASAR-DASAR
KURIKULUM
Di susun guna memenuhi
tugas Dasar-Dasar Kurikulum
Pengampu : Bambang Dwi
Sasongko
Di susun oleh:
Rina Wahyu
Destiyani A310120095
Teguh Surono A310120113
Anita Meyreni A310120128
Ella Sari Oktaviani A310120118
Rismawati A310120104
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN BAHASA
SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan yang mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara-cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Sedangkan pengembangan
kurikulum merupakan bagian yang esensial dalam proses pendidikan. Sasaran yang
dicapai bukan semata-mata memproduksi bahan pelajaran melainkan lebih dititik
beratkan untuk meningkatkkan kualitas pendidikan. Pengembangan kurikulum
merupakan proses faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan
kurikulum. Karena pengembangan kurikulum merupakan alat untuk membantu guru
dalam melakukan tugasnya mengajarkan bahan, menarik minat dan memenuhi
kebutuhan masyarakat.
Kurikulum
merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan yang dinamis. Oleh karenanya
kurikulum harus selalu dikembangkan dan disempurnakan agar sesuai dengan laju
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta masyarakat yang sedang
membangun. Hal ini dimaksudkan agar hasil pengembangan kurikulum tersebut
sesuai dengan minat, bakat kebutuhan peserta didik, lingkungan, kebutuhan
daerah, sehingga dapat mempelancar program pendidikan dalam rangka perwujudan
dan pencapaian tujuan pendidikan nasional.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana hubungan antara perkembangan
kurikulum dengan rekonstruksi sosial?
2.
Bagaimana kurikulum mengisyaratkan
kompetensi dari mata pelajaran?
3.
Bagaimana pelajaran diturunkan dari
kompetensi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hubungan Antara Perkembangan
Kurikulum dengan Rekonstruksi Sosial
Dalam
mengembangan kurikulum maka diperlukan pendekatan-pendekatan sehingga kurikulum
itu dapat sesuai dengan tujuan pendidikan yag diharapkan. Yang dimaksud dengan
pendekatan adalah cara kerja dengan menerapkan strategi dan metode yang tepat
dengan mengikuti langkah-langkah pengembangan yang sistematis agar memperoleh
kurikulum yang lebih baik. Pendekatan-pendekatan yang dikembangkan oleh para
pengembang tersebut, yakni:
1. Pendekatan Subyek Akademik
Pada
pendekatan subyek akademik menggunakan bidang studi atau mata pelajaran sebagai
dasar organisasi kurikulum, misalnya matematika, sains, sejarah, geografi, atau
IPA, IPS, dan sebagainya seperti yang lazim didapati dalam system pendidikan
sekarang ini disemua sekolah dan perguruan tinggi. Yang diutamakan dalam
pendekatan ini adalah penguasaan bahan dan proses dalam disiplin ilmu tertentu.
Karena setiap ilmu pengetahuan memiliki sistematisasi tertentu dan
berbeda dengan sistematisasi ilmu lainnya. Pengembagan kurikulum subyek
akademik dilakukan dengan cara menetapkan terlebih dahulu mata pelajaran
apa yang harus dipelajari peserta didik, yang diperlukan untuk (persiapan)
pengembangan disiplin ilmu.
Dari
pendekatan subyek akademik ini diharapkan agar peserta didik dapat menguasai
semua pengetahuan yang ada di kurikulum tersebut. Karena kurikulum sangat
mengutamakan pengetahuan maka pendidikan lebih bersifat intelektual.
Nama-nama mata pelajaran yang menjadi isi kurikulum hampir sama dengan
nama disiplin ilmu, seperti bahasa dan sastra, geografi, matematika, ilmu
kealaman, sejarah, dan sebagainya. Kurikulum subyek akademik tidak berarti
hanya menekankan pada materi yang disampaikan, dalam perkembangannya secara
berangsur-angsur memperhatikan proses belajar yang dilakukan siswa. Proses
belajar yang dipilih sangat bergantung pada hal apa yang terpenting dalam
materi tersebut.
Dalam pendekatan pengembangan kurikulum ada mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tujuan
Tujuan
kurikulum subyek akademik adalah pemberian pengetahuan yang solid serta melatih
para siswa menggunakan ide-ide dan proses “penelitian”. Para siswa harus
belajar mengunakan pemikiran dan dapat mengontrol dorongan-dorongannya,
sehingga diharapkan siswa mempunyai konsep dan cara yang terus dapat
dikembangkan di masyarakat yang lebih luas.
b. Metode
Metode yang
banyak digunakan dalam pendekata subyek akademik adalah pendekatan metode
ekspositori dan inkuiri. Ide-ide diberikan guru kemudian dielaborasi
(dilaksanakan) siswa sampai mereka kuasai.Dalam materi disiplin ilmu yang
diperoleh, dicari berbagai masalah penting, kemudian dirumuskan dan dicari cara
pemecahannya.
c. Organisasi isi
Ada beberapa
pola organisasi isi (materi pelajaran) kurikulum subyek akademik. Pola-pola
organisasi yang terpenting di antaranya:
1.
Correlated curriculum, adalah pola
organisasi materi atau konsep yang dipelajari dalam suatu pelajari dalam suatu
pelajaran dikorelasikan dengan pelajaran lainnya.
2.
Unified atau
Concentrated, adalah pola organisasi bahan pelajaran tersusun dalam
tema-tema pelajaran tertentu, yang mencakup materi dari berbagai pelajaran
disiplin ilmu.
3.
Intregrated curriculum, kalau dalam unified
masih tampak warna displin ilmunya, maka dalam pola yang integrated warna
disiplin ilmu tersebut sudah tidak kelihatan lagi. Bahan ajar diintegrasikan
dalam suatu persoalan, kegiatan atau segi kehidupan tertentu.
4.
Problem Solving curriculum, adalah pola
organisasi isi yang beriisi topic pemecahan masalah social yang dihadapi dalam
kehidupan dengan menggunakan pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh dari berbagai
mata pelajaran atau disiplin ilmu.
d. Evaluasi
Kurikulum
subyek akademik menggunakan bentuk evaluasi yang bervariasi disesuaikan dengan
tujuan dan sifat mata pelajaran. Dalam bidang studi humaniora lebih banyak
digunakan bentuk uraian (essay test) dari tes objektif. Karena bidang
studi ini membutuhkanjawaban yang merefleksikan logika, koherensi, dan
integrasi secara menyeluruh.
2. Pendekatan Humanistik
Pada pendekatan humanistik berpusat pada siswa, jadi student
centered, dan mengutamakan perkembangan afektif siswa sebagai prasyarat dan
sebagai bagian integral dari proses belajar. Menurut Somantrie dalam Abdullah
Idi, bahwa pada pendekatan humanistik prioritasnya adalah pengalaman belajar
yang diarahkan terhadap tanggapan minat, kebutuhan dan kemampuan anak.
Permasalahan yang perlu disadari adalah bahwa materi
bukanlah tujuan. Dengan demikian, keberhasilan pendidikan tidak semata-mata
diukur dengan lancarnya proses transmisi nilai-nilai (dalam hal ini materi
pelajaran yang terformat dalam kurikulum), melainkan lebih dari sekadar hal
itu. Pendidikan humanistik menganggap materi pendidikan lebih merupakan sarana,
yakni sarana untuk membentuk pematangan humanisasi peserta didik, jasmani dan
ruhani secara gradual.
Jadi dari hal tersebut dapatlah kita pahami bahwa pada
pendekatan humanistik tujuan dari pendidikan itu bukan hanya pada nilai-nilai
yang dapat dicapai pesera didik tapi lebih kepada pembentukan perubahan pada
peserta didik, baik secara jasmani maupun ruhani.
Selanjutnya siswa hendaknya diturut sertakan dalam
penyelenggaraan kelas dan keputusan instruksional. Dan siswa hendaknya turut
serta dalam pembuatan, pelaksanaan, dan pengawasan peraturan sekolah. Siswa
hendaknya diperbolehkan memilih kegiatan belajar, dan siswa boleh membuktikan
hasil belajarnya melalui berbagai macam karya atau kegiatan.
Pendidikan yang humanistik memandang manusia sebagai
manusia, yakni makhluk hidup ciptaan Allah dengan fitrah-fitrah tertentu.
Sebagai makhluk hidup, ia harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan
hidupnya. Sebagai pribadi, manusia juga sebagai makhluk social yang
memilki hak-hak sosial dan harus menunaikan kewajiban-kewajiban sosialnya.
Dalam kurikulum humanistik, guru
diharapkan dapat membangun hubungan emosional yang baik dengan peserta
didiknya, untuk perkembangan individu peserta didik itu selanjutnya. Oleh
karena itu, peran guru yang diharapkan adalah sebagai berikut:
- Mendengar pandangan realitas peserta didik secara komprehensif
- Menghormati individu peserta didik, dan
- Tampil alamiah, otentik, tidak dibuat-buat.
Tugas guru dalam kurikulum humanistik adalah
menciptakan situasi yang permisif dan mendorong peserta didik untuk mencari dan
mengembangkan pemecahan sendiri. Dan tujuan pengajaran adalah memperluas
kesadaran diri sendiri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari
lingkungan.
Dari sini jelaslah bahwa pendekatan pengembangan
kurikulum humanistik ini mengaharapkan perkembangan diri siswa sehingga dapat
menemukan kepribadiannya yang hidup ditengah-tengah masyarakat.
3.
Pendekatan Teknologis
Salah satu ciri gloalisasi adalah pesatnya arus
informasi melalui berbagai alat teknologi seperti telepon, radio, televisi,
teleconference sampai dengan satelit, dan internet. Kehadiran teknologi perlu
di manfaatkan oleh dunia pendidikan dalam upaya pemerataan kesempatan,
peningkatan mutu, relevansi dan efesiensi pendidikan.
Perspektif teknologi sebagai kurikulum ditekankan pada
efektifitas program metode dan material untuk mencapai suatu manfaat dan
keberhasilan. Teknologi memengaruhi kurikulum dalam dua cara, yaitu aplikasi
dan teori. Aplikasi teknologi merupakan suatu rencana penggunaan beragam alat
dan media, atau tahapan basis instruksi. Sebagai teori, teknologi digunakan
dalam pengembangan dan evaluasi material kurikulum dan instruksional.
Pandangan pertama menyatakan bahwa pemanfaatan
teknologi lebih diarahkan pada bagaimana mengajarnya, bukan apa yang diajarkan.
Sementara pandangan kedua menyatakan bahwa teknologi diarahkan pada penerapan
tahapan instruksional.
Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan khususnya
kurikulum adalah dalam dua bentuk, yaitu bentuk perangkat lunak (software)
dan perangkat keras (hardware). Penerapan teknologi perangkat keras
dalam pendidikan dikenal sebagai teknologi alat (tools technology), sedangkan
penerapan teknologi perangkat lunak disebut juga teknologi sistem (system
technology).
Teknologi pendidikan dalam arti teknologi alat, lebih
menekankan kepada penggunaan alat-alat teknologi untuk menunjang efisiensi dan
efektifitas pendidikan. Kurikulumnya berisikan rencana-rencana penggunaan
berbagai alat dan media, juga model-model pengajaran yang banyak melibatkan
penggunaan alat. Contoh-contoh model pengajaran tersebut adalah: pengajaran
dengan bantuan film dan video, pengajaran berprogram, mesin pengajaran,
pengajaran modul. Pengajaran dengan bantuan komputer, dan lain-lain.
Pendekatan
teknologi dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan bertolak dari
analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu.
Karenanya materi yang diajarkan, kriteria evaluasi sukses, dan strategi
belajarnya ditetapkan sesuai dengan analisis tugas (job analysis)
tersebut. Contoh penerapannya
dalam kurikulum dan hasil belajar, misalnya dalam mata pelajaran PAI, tentang
menyajikan pesan pembelajaran tentang shalat, maka dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1) Kompetensi
dasar
: mampu melaksanakan shalat
2) Hasil
belajar
:
(1) siswa mampu menjelaskan tata cara shalat yang benar
(2) siswa mampu manghafal dan mmempraktikkan bacaan shalat
(3) Indikator: Menjelaskan pengertian shalat
Menjelaskan
syarat-syarat shalat
Menjelaskan rukun shalat
Menjelaskan sunnat shalat
Menjelaskan
hal-hal yang membatalkan shalat
Melafalkan bacaan shalat dengan benar
Menghafal bacaan shalat
Mempraktikan shalat
Mau melaksanakan shalat
Terbiasa melaksanakan shalat
Dari rumusan kompetensi dasar dan hasil belajar, dan
dijabarkan dalam rumusan indicator, maka dapat di ketahui organisasi isi dari
pembelajarannya. Dan untuk mengorganisasikan isi dengan baik, diperlukan
analisis tugas dann jenjang belajar sesuia dengan kerakteristik pendekatan
teknologi.
Kurikulum yang dikembangkan dari konsep teknologi
pendidikan memiliki beberapa ciri khusus, yaitu:
a)
Tujuan
Tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang
dirumuskan dalam bentuk perilaku. Tujuan-tujuan yang bersifat umum yaitu
kompetensi dirinci menjadi tujuan-tujuan khusus, yang disebut objektif atau
tujuan instruksional. Objektif ini menggambarkan perilaku, perbuatan atau
kecakapan-ketrampilan yang dapat diamati.
b)
Metode
Metode merupakan kegiatan pembelajaran sering
dipandang sebagai proses mereaksi terhadap perangsang-perangsang yang diberikan
dan apabila terjadi respons yang diharapkan maka respons tersebut diperkuat.
c)
Organisasi
bahan ajar
Bahan ajar dan isi kurikulum banyak diambil dari
disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa sehingga mendukung
penguasaan sesuatu kompetensi. Bahan ajar atau kompetensi yang luas/besar
dirinci menjadi bagian-bagian atau subkompetensi yang lebih kecil, yang
menggambarkan objektif. Urutan dari objektif-objektif ini pada dasarnya menjadi
inti organisasi bahan.
d)
Evaluasi
Kegiatan evaluasi dilakukan pada setiap saat, pada
akhir suatu pelajaran, suatu unit atau semester. Fungsi evaluasi ini
bermacam-macam, sebagai umpan balik bagi siswa dalam penyempurnaan penguasaan
suatu satuan pelajaran (evaluasi formatif), umpan balik bagi siswa pada akhir
suatu program atau semester (evaluasi sumatif). Juga dapat menjadi umpan balik
bagi guru dan pengembang kurikulum untuk penyempurnaan kurikulum. Tes evaluasi
yang biasa dilakukan adalah tes objektif.
4.
Pendekatan Rekontruksi Sosial
Kurikulum rekonstruksi sosial sangat
memperhatikan hubungan kurikulum dengan sosial masyarakat dan politik
perkembangan ekonomi. Banyak prinsip kelompok ini yang konsisten dengan
cita-cita tertinggi, contohnya masalah hak asasi kaum minoritas, keyakinan
dalam intelektual masyarakat umumnya, dan kemampuan menentukan nasib sendiri
sesuai arahan yang mereka inginkan.
Pengajaran kurikulum rekonstruksi
sosial banyak dilaksanakan di daerah-daerah yang tergolong belum maju dan
tingkat ekonominya juga belum tinggi. Pelaksanaan pengajaran ini diarahkan
untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Sesuai dengan potensi yang ada
dalam masyarakat, sekolah mempelajari potensi-potensi tersebut, dengan bantuan
biaya dari pemerintah sekolah berusaha mengembangna potensi tersebut. Di daerah
pertanian misalnya maka sekolah harus mengembangkan bidang pertanian, sementara
kalau daerah industri maka yang harus dikembangkan oleh sekolah adalah bidang
industri. Sehingga kurikulum tersebut dapat memenuhi kebutuhan masyarakatdaerah
tersebut.
Kurikulum rekonstruksi sosial
bertujuan untuk menghadapka peserta didik pada berbagai permasalahan manusia
dan kemanusian. Para pendukung kurikulum ini yakin, bahwa permasalahan yang
muncul tidak harus diperhatikan oleh “pengetahuan sosial” saja, tetapi oleh
setiap disiplin ilmu.
Kegiatan yang dilakukan dalam
kurikulum rekonstruksi sosial antara lain melibatkan:
- Survei kritis terhadap suatu masyarakat
- Studi yang melibatkan hubungan antara ekonomi lokal dengan ekonomi nasional atau internasional
- Studi pengaruh sejarah dan kencenderungan situasi ekonomi lokal
- Uji coba kaitan praktik politik dengan perekonomian
- Berbagai pertimbangan perubahan politik, dan
- Pembatasan kebutuhan masyarakat pada umumnya.
Dari pemikiran diatas, maka
penyusunan dan pengembangan kurikulum harus bertitik tolak dari problem
yang dihadapi dalam masyarakat. Pendekatan kurikulum rekonstrksi sosial ini
selain menekan pada isi pembelajaran, sekaligus juga menekankan pada proses
pendidikan dari pengalaman belajar. Ini dikarenakan, pendekatan rekonstruksi
sosial berasumsi bahwa, manusia adalah makhluk sosial yang sepanjang
kehidupannya membutuhkan orang lain, selalu bersama, berinteraksi dan
bekerjasama.
Dari pendekatan kurikulum
rekonstruksi sosial ini, nantinya diharapkan peserta didik mempunyai tanggung
jawab dalam masyarakatnya guna membantu pemerintah dalam perbaikan-perbaikan
dalam masyarakatnya yang lebih baik lagi kedepannya.
Adapun pendekatan kurikulum
rekonstruksi sosial ini mempunyai ciri-ciri berkenaan dengan:
- Tujuan
Tujuan utama kurikulum rekonstruksi sosial adalah
menghadapkan para peserta didik pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau
gangguan-gangguan yang dihadapi manusia. Karena itu, tujuan program pendidikan
setiap tahun berubah. Tantangan-tantangan tersebut merupakan bidang garapan
selain bidang studi agama, juga perlu didekati dari bidang-bidang lain seperti
ekonomi, sosiologi, ilmu pengetahuan alam, estetika, matematika dan lain-lain.
- Metode
Tugas guru dalam kegiatan pembelajaran dalam kurikulum
rekonstruksi sosial, yaitu: berusaha mencari keselarasan antara tujuan-tujuan
nasional dengan tujuan peserta didik. Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran
guru harus dapat membantu para peserta didik untuk menemukan minat dan
kebutuhannya.
Kegiatan
pembelajaran yang dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan dalam
persoalan-persoalan tersebut di atas dapat dilakukan dengan menggunakan
berbagai metode antara lain: (1) mengadakan survei kritis kepada masyarakat;
(2) mengadakan studi banding ekonomi lokal dan nasional; (3) mengevaluasi semua
rencana dengan criteria, apakah telah memenuhi kepentingan sebagian besar
orang.
- Organisasi Isi
Pola organisasi isi kurikulum rekonstruksi sosial
disusun seperti roda. Ditengah-tengahnya sebagai poros dipilih sesuatu masalah
yang menjadi tema utama dan dibahas secara pleno. Tema-tema tersebut dijabarkan
ke dalam sejumlah topik yang dibahas dalam diskusi kelompok, latihan-latihan,
kunjungan dan lain-lain. Topik-topik dengan berbagai kelompok ini merupakan
jari-jari. Semua kegiatan jari-jari tersebut dirangkum menjadi satu kesatuan
sebagai bingkai atau velk.
- Evaluasi
Dalam kegiatan evaluasi para peserta didik dilibatkan.
Keterlibatan para peserta didik terutama dalam memilih, menyusun, dan menilai
bahan yang akan diujikan. Soal-soal yang akan diujikan terlebih dahulu diuji
untuk menilai ketepatan maupun keluasan isinya. Selain itu juga untuk menilai
keampuhannya dalam menilai pencapaian tujuan-tujuan pembangunan kehidupan
keberagaman masyarakat yang sifatnya kualitatif.
Dari keempat pendekatan pengembangan kurikulum ini,
maka penyusunan kurikulum harus dapat melihat kepada ilmu pengetahuan itu
sendiri yang dapat dikaitkan dengan kepentingan peserta didik sebagai
manusia/individu, dan kurikulum juga harus dapat menyesuaikan dengan
perkemgangan teknologi sekarang ini, dan yang tidak kala pentingnya adalah
kurikulum dibuat dengan memperhatikan kepentingan masyarakat tiap-tiap daerah.
B. Kurikulum Lama Mengisyaratkan
Kompetensi Diturunkan Dari Mata Pelajaran Dan Pelajaran Diturunkan Dari
Kompetensi.
Pendahuluan
Persoalan
pendidikan tidak cukup hanya mempersoalkan kurikulum semata. Kurikulum hanyal
panduan dasar bagi guru dalam melaksanakan tugas mendidik dan mengajarnya
dengan harapan tidak akan menyimpang dari apa yang dicita-citakan oleh negara
dalam rangkan mewujudkan rakyatnya yang cerdas.
Jauh lebih
penting dari soal bongkar pasangnya kurikulum adalah bagaimana kurikulum
sebagai panduan itu dapat dipahami dan dimengerti oleh semua pihak yang
terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan
dan pengajaran khususnya disekolah-sekolah formal.
Kurikulum
memang bukan merupakan barang baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dari
dulu sejak negara ini berhasil melepaskan dirinya dari belenggu penjajahan,
kurikulum terus berubah menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Kurikulum
memang tidak mesti menjadi baku dan statis, namun bukan berarti bahwa
kurikulumlah satu-satunya penentu dalam pencapaian tujuan pendidikan.
Banyak
hal-hal lain yang sangat berpengaruh dalam menentukan tercapai tidaknya tujuan
pendidikan itu. Dari banyak hal itu banyak pula yang terabaikan dan kurang
menarik diperhatikan oleh pengampu kebijakan dibidang pendidikan.
Perbedaan Esensial KTSP dan
Kurikulum 2013
Perbedaan
pokok antara KTSP atau kurikulum tingkat satuan pendidikan (Kurikulum
2006) yang selama ini diterapkan dengan Kurikulum 2013 yang akan dijalankan
secara terbatas mulau Juli 2013 yaitu berkaitan dengan perencanaan
pembelajaran. Dalam KTSP, kegiatan pengembangan silabus merupakan kewenangan
satuan pendidikan, namun dalam Kurikulum 2013 kegiatan pengembangan silabus
beralih menjadi kewenangan pemerintah, kecuali untuk mata pelajaran tertentu
yang secara khusus dikembangkan di satuan pendidikan yang bersangkutan.
Meskipun silabus
sudah di kembangkan oleh pemerintah pusat , namun guru tetap dituntut
untuk dapat memahami seluruh pesan dan makna yang terkandung dalam silabus,
terutama untuk kepentingan operasionalisasi pembelajaran. Oleh karena itu,
kajian silabus tampak menjadi penting, baik dilakukan secara mandiri maupun
kelompok sehingga diharapkan para guru dapat memperoleh perspektif yang lebih
tajam, utuh dan komprehensif dalam memahami seluruh isi silabus yang
telah disiapkan tersebut.
Adapun
penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) masih merupakan kewenangan
guru yang bersangkutan, yaitu dengan berusaha mengembangkan dari Buku Babon
(termasuk silabus) yang telah disiapkan pemerintah.
Guru yang
kritis dan kreatif
Kurikulum
2013 dengan segala perbedaan isinya dari kurikulum sebelumnya tidak lalu
menjadi istimewa jika tidak diikuti oleh berubahnya paradigma dan perilaku guru
sebagai tenaga professional edukatif. Harus diakui bahwa banyak hal yang sudah
dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan kualitas
keprofesionalan guru. Mulai dari kebijakan menyangkut tata kepangkatan/golongan
yang jauh lebih fleksibel jika dibandingkan dengan pegawai negeri sipil
disektor lain (nonfungsional) sampai kepersoalan pemberian insentif profesi
(sertifikasi) yang jumlahnya sangat menggiurkan dan menimbulkan rasa iri dari
sesama pegawai negeri sipil disektor lain,penyamaan status secara bertahap bagi
guru honorer dan non pegawai negeri. Penyelenggaraan berbagai penataran
guru mata pelajaran hingga pemberian beasiswa untuk melanjutkan pendidikan guru
kejenjang yang lebih tinggi. Namun semua itu tak banyak merubah mutu
profesionalitas guru (terutama diberbagai daerah-daerah) termasuk beberapa kota
besar diluar pulau Jawa.
Merubah
paradigm lama dan sifat monokultur para guru
Penekanan
kurikulum 2013 yang rencananya segera untuk dilaksanakan jika dicermati
ternyata mengisyaratkan tiga sisi yang menjadi perhatian besarnya :
a. tentang
moral dan keimanan dalam rangka menjaga karakter bangsa
b. tentang daya
kritis dalam memelihara kemampuan analisis dan kecermatan
c. tentang
kreativitas dalam rangka mendorong tumbuh kembangnya daya cipta dan
menghindarkan sikap ketergantungan
tiga pilar tersebut diatas itulah
yang coba digarap didalam pelaksanaan kurikulum 2013.
Sebenarnya
hal itu sudah menjadi domainnya dunia pendidikan modern sejak lama. Dan sudah
ada tercantum dalam kurikulum sebelumnya walaupun mungkin dalam redaksi yang
berbeda namun semua itu tinggal sebagai isi kurikulum semata,
Sebenarnya
persoalan moral dan keimanan,daya kritis dan daya kreativitas peserta didik
yang menjadi harapan dan janji kurikulum 2013 itu, sangat tergantung pada
tingkat keimanan dan moral, daya kritik dan kreativ para guru itu sendiri. Tiga
pilar itu sejak dulu merupakan potensi yang sudah dimiliki oleh peserta didik
yang ia bawa dari lingkungan keluarganya (pendidikan informal) disaat ia
pertama memasuki dunia sekolah (pendidikan formal). Namun potensi itu tidak
berkembang secara lebih baik ketika para guru disekolah-sekolah tidak menyadari
adanya potensi itu.
Paradigma
lama para guru yang menempatkan peserta didik sebagai sosok manusia yang tidak
tahu apa-apa itulah yang menjadi pangkal bencana didunia pendidikan kita.
Paradigma lama itu pula yang menyebabkan tidak terjadinya komunikasi yang baik
diantara para guru dengan peserta didik (siswa/murid) sehingga menyebabkan
potensi yang dimiliki para peserta didik (siswa/murid) tadi menjadi tersimpan
atau tidak muncul kepermukaan akibat tekanan psikhologis dan tekanan monokultur
para guru yang menganut paham berbagai pantangan kedekatan hubungan antara guru
dan murid dalam pengertian positif.
Daya kritis
dan keatif guru menjadi penting
Kekritisan
guru terhadap kehendak kurikulum sebagai sesuatu yang harus dipedomani seorang
guru dalam melakukan pekerjaan mengajar dan mendidik dimaksudkan adalah agar
apa yang tengah dan akan ia ajarkan kepada anak didiknya selalu memiliki
kesesuaian antara apa yang ingin dicapai dengan apa yang seharusnya
dikerjakan/dilakukan. Guru tidak perlu menempatkan kurikulum sebagai sesuatu yang
sakral sehingga tidak berani melakukan berbagi terobosan dalam rangka
mengefektifkan kegiatan belajar mengajar (proses pengajaran dan pendidikan).
Atau sebaliknya menyebabkan guru merasa emoh untuk memaksimalkan pemikirannya
untuk berkreasi karena takut kualat pada kurikulum apalagi jika ditambah
egosentrisnya kepala sekolah dengan jabatannya. Salah satu contohnya adalah
tentang keberanian guru dalam mengotak-atik susunan tema yang akan diajarkan
dan disesuaikann dengan pertimbangan waktu,kesiapan mental peserta didik atau
ketersediaan prasarana dan sarana yang dimiliki. Guru atas pertimbangan
kesakralan kurikulum tidak berani melakukan hal seperti ini,akhirnya guru
memaksakan saja untuk mengikuti tahapan-tahapan (urut-urutan dalam kurikulum)
walau dia tahu persis kurang tepat untuk dilakukan.
Daya kritis
guru diperlukan dalam memperkuat analisisnya terhadap buku-buku bahan pendukung
proses belajar mengajar (apalagi jika buku dijadikan sebagai ajang bisnis yang
merupakan kolusi antara pejabat-pejabat di sekolah dan kemendiknas/kemenag
dengan korporasi pengusaha buku). Dengan daya kritis ini diharapkan guru
memiliki keberanian menolak adanya pemaksaan pembelian buku-buku yang tidak
sesuai dengan maksud dan tujuan dari pengajaran dan pendidikan sesuai dengan mata
pelajaran yang ia asuh. Jangan heran jika diberbagai sekolah masih ada guru
yang terpaksa bertentangan dengan kepala sekolah akibat adanya proyek pengadaan
buku-buku bacaan yang pada akhirnya mengganggu proses pengajaran dan pendidikan
yang tengah berlangsung.
Daya kritis
peserta didik (siswa/murid) tak akan pernah terwujud jika mereka dikelilingi
oleh guru-guru yang tidak kritis terhadap apa yang tengah berlangsung disekolah
dan lingkungan mereka.Demikian pula soal kreativitas peserta didik sangat tergantung
pada tingkat dan daya kreativitas sang guru sebagai pendamping para peserta
didik itu. Kreativitas peserta didik (siswa/murid) sudah sejak dulu menjadi
potensi yang tersembunyi dan tidak muncul kepermukaan karena adanya tekanan
psikhologis dan beban tradisi yang disebabkan oleh adanya monokultur paradigma
guru dalam menempatkan posisi guru dan murid sebagai dua sisi yang saling
berlawanan bukan sebagai dua sisi yang saling menyempurnakan.
Alternatif
lain yang bisa dicoba.
Kehendak
untuk merubah bentuk pendidikan agar benar-benar bisa dihandalkan dalam
mencapai tujuan yang dicita-citakan memang memerlukan berbagai alternatif yang
dapat dilaksanakan dalam mengantisipasi kemungkinan kegagalan yang akan
dihadapi.Niat pemerintah khususnya Kemendiknas untuk memulai proses pelaksanaan
kurikulum 2013 dengan menyelenggarakan pelatihan bagi guru terlebih dahulu
memang sudah semestinya dilakukan. Namun perlu untuk dicermati tentang
bentuk,pola dan tujuan dari pelatihan itu.Pelatihan guru untuk memulai pelaksanaan
kurikulum 2013 hanya menjadi sia-sia jika bentuk dan polanya sama seperti
penataran guru yang selama ini dilakukan,yang kebanyakan hanya bentuk/ cara
lain untuk menghabiskan sisa anggaran semata.
Padahal
besarnya biaya yang diperlukan untuk itu dapat lebih efektif jika pemerintah
mau membuka dirinya untuk memberdayakan orang-orang yang memiliki kreativitas
tinggi yang berada diluar sekolah dan tidak berstatus PNS atau guru
formal.Langkah-langkah untuk memberdayakan orang-orang yang berada diluar sekolah
merupakan alternatif yang baik untuk dicoba. Ada perbedaan yang menyolok antara
guru disekolah dengan guru ahli yang datang dari luar sekolah dalam memberi
pengalaman belajar kepada peserta didik. Pendekatan yang berbeda dari kedua
pihak itu akan mampu memperkaya pengalaman belajar peserta didik. Selama ini
yang tidak ditemui dari kegiatan disekolah adalah pengalaman belajar dari
pengalaman yang dialami langsung peserta didik. Jikapun ada sangat terbatas dan
tidak memberi kesan yang cukup membekas.Hanya orang-orang yang berada diluar
sekolah itulah yang berkemampuan untuk mengajarkan pengalaman kreativitasnya
sebab mereka tidak akan terganggu dengan persoalan memburu target kurikulum.
Seimbangkan
antara kegiatan Intrakurikuler dan Ekstrakurikuler
Formulasi
keterlibatan para guru ahli yang bukan PNS dan guru honor/tetap itu bisa
ditempuh dengan memaksimalkan kegiatan ekstrakurikuler yang lebih terencana dan
terprogram dan bersifat intensif. Kurikulum 2013 ini sebenarnya mengisyaratkan
hal itu, yakni sekolah tidak bisa dikelola dengan cara-cara eksklusif (tertutup
dari kegiatan yang tengah berlangsung diluar) dan tertutup dari keterlibatan
anggota masyarakat diluar strukturnya karena diluar sekolah itu sangat banyak
kemampuan-kemampuan praktis yang bisa menjawab pertanyaan mutu pendidikan
formal. Seharusnya dua sisi antara soal target kemampuan untuk melanjutkan
pendidikan dan target kemampuan untuk memasuki dunia kerja dapat dibagi dalam
dua program/kegiatan yakni intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang masing-masing
bidang itu ditangani oleh dua formasi yang berbeda pula. Pengelompokan itu
menjadi satu tim di intrakurikuler dan ekstrakurikuler.
Melibatkan
pihak luar sekolah dalam menangani persoalan ekstrakurikuler sekaligus akan
membuka kesempatan pada anggota masyarakat yang berminat pada bidang pendidikan
(guru) sekaligus mendekatkan hubungan sekolah dengan masyarakatnya. Jika alasan
tidak melakukannya karena keterbatasan biaya, ayo sama-sama kita hitung berapa
besar biaya yang terbuang percuma ketika pemerintah (dalam hal ini Kemendiknas
dan Kemenag) menyelenggarakan penataran-penataran guru mata pelajaran yang sama
sekali tak memberi pengaruh apapun bagi peningkatan mutu pembelajaran dan
pendidikan yakni mutu kebermanfaatan.
Paradigma terhadap pendidikan sudah harus dirubah kearah yang lebih progresif. Dan itu tidak akan mampu jika hanya dilakukan oleh sekolah formal beserta tim gurunya itu.
Paradigma terhadap pendidikan sudah harus dirubah kearah yang lebih progresif. Dan itu tidak akan mampu jika hanya dilakukan oleh sekolah formal beserta tim gurunya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar